Rabu, 31 Maret 2010

"Ujian Nasional" Haruskah ????

Beberapa hari ini perhatian kita terpusat dengan kegiatan " Ujian Nasional" Semua perhatian disekolah-sekolah terpusat pada persiapan dan pelaksanaannya. Semua perhatian tercurah pada "UN". Semuanya tentang " U N". Begitu juga semua stasion TV juga memberitakan tentang "UN". Sehingga "UN" menjadi pusat perhatian.


Jum'at ( 26 Maret 2010 ) sore hari aku menonton  Trans TV yang memberitakan seputar "UN".  Ada perasaan geram , kecewa, sebel , prihatin bercampur aduk dihatiku , karena beritanya tentang transaksi jual-beli kunci jawaban "UN". Kulihat  bagaimana proses transaksi itu berlangsung, mulai dari tim pembuat kunci jawaban, penjual kunci jawaban serta proses pembeliannya. Dimulai jam 4 subuh beberapa siswa SMA mulai mendatangkan tempat trasaksi, terlhat anak yang datang adalah anak golongan "tajir" , mereka mulai melakukan proses penyimpanan kunci tersebut kebeberapa tempat, ada yang disimpan di beberapa HP, di potongan kertas kecil , ditisu dan ada yang nekat di tulis dipaha mereka ... aw.... ironis  sekali !! 
Aku begitu geram melihatnya, gimana ndak geram aku dibuatnya. Aku disekolah beberapa bulan ini dengan kerja keras mempersiapkan murid- muridku  untuk belajar lebih giat untuk menghadapi "UN". Lah....... mereka......???? dengan uang 4-6 juta mereka sudah bisa menyelesaikan "UN" .  Wajarkan aku begitu "geram" !!! Bagi mereka uang bisa menyelesaikan persoalan hidup mereka salah satunya menghadapi persoalan "UN". gampang banget mereka meyelesaikannya. Tak perlu kerja keras untuk "lulus UN". Inikah yang akan menjadi generasi penerus bangsa ini ??? Mereka bisa mendapatkan nilai "bagus" tanpa harus belajar , tanpa kerja keras dan mereka bangga dengan apa yang mereka peroleh tanpa perasaan berdosa. Sebel khan ngelihat prilaku mereka !!!

Dan hari minggu sore ( 28 Maret 2010 ) aku dibuat tercengang dan terharu oleh berita yang disajikan oleh  Trans TV. Beritanya bertolak belakang dengan yang diberitakan hari Jum'at sore. Diberitakan perjuangan seorang bocah SMP suatu desa di Sulawesi dalam menghadapi "UN" Seorang bocah SMP itu harus menginap digudang sekolahnya beberapa hari selama "UN" berlangsung. Dia mempersiapkan dirinya menghadapi "UN" dengan segala keterbatasannya, dia rela tidur tak beralas kasur, seorang diri disebuah "gudang " , memasak untuk diri sendiri dgn segala keterbatasanya, belajar dengan buku yang "seadanya" Wow ........  begitu semangatnya dia mempersiapakan dirinya , keterbatasan itu tidak menyulutkan semangatnya untuk "maju" . Aku melihatnya terharu sekali tak sadar air mata mengalir dipipiku, aku bangga dengan bocah itu.  Aku sedih melihatnya , dia dengan kertebatasannya berjuang keras untuk "maju". Aku deg...deg....degan  juga , semoga bocah itu "lulus" dengan nilai yang terbaik., Amin.

Sekarang yang menjadi pertanyanku , mengapa nasib pelajar hanya ditentukan oleh hasil "UN"?  Kita bisa membandingkan persiapan anak-anak yang diberitakan hari Jum'at dengan yang diberitakan hari Minggu , mana yang berhak untuk  "lulus" Mengapa kelulusan itu dilihat dari L J K ( Lembar Jawaban Komputer ) yang dibuat pada saat "UN" berlangsung. Mengapa tak melihat "proses belajar" nya. Ah..... ironis sekali pendidikan di Indonesia ini. Inilah yang membuat pendidikan kita tak "maju-maju".  Ah ...... semoga mata dan hati orang -orang yang mengurus pendidikan di Indonesia ini terbuka melihat 2 berita di TV itu, Semoga..... Amin!





4 komentar:

  1. Kebetulan saya juga mengikuti pemberitaan2 tentang pelaksanaan UN di tv, termasuk repotase investigasi yang ditayangkan Trans Tv... Memang sungguh mengecewakan, karena beberapa waktu sebelumnya Mendiknas dengan pede mengatakan; "Tidak ada kebocoran UN...". Ternyata, dari pengakuan siswa yg mendapat kunci, yang memberikan kunci adalah Omnya yg bekerja di Depdiknas.. Apakah Densus 88 tidak menindaklanjuti info ini..? Bukankah di Medan, pada UN tahun sebelumnya, beberapa orang guru ditangkap densus 88 karena mengubah LJK siswa? Seakan guru yg membantu siswanya (dg cara yang salah)itu sama dengan teroris..
    Ke depan, pelaksanaan UN sebagai penentuan kelulusan sudah tidak layak lagi dipertahankan, karena hanya akan mendorong terjadinya segala bentuk kecurangan dalam pelaksanaannya.. UN sebagai penentu kelulusan juga telah menafikan pengembangan EQ dan SQ, mengikis rasa malu, dan memunculkan prestasi-prestasi semu yang berpatokan kepada hasil UN yang tinggi. Malu kita rasanya, mendapat pujian dan penghargaan karena rata-rata nilai UN dan tingkat kelulusan yang tinggi, dan kita pun bertepuk tangan pula, pura-pura gembira dan bahagia dengan prestasi semu dan sanjungan semu itu...
    Stop pelaksanaan UN untuk penentuan kelulusan. Cukuplah UN itu sebagai alat pemetaan mutu pendidikan di tanah air, sehingga pemerintah bisa lebih fokus membantu peningkatan mutu di daerah2 yang masih tertinggal...
    Masalah kelulusan siswa, serahkanlah kepada sidang majelis guru di sekolah, yang lebih mengetahui tentang siswanya -yang selama tiga tahun mereka didik dan mereka evaluasi...
    Terima kasih... Mount Everest, Pasaman Barat

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. iya ....mon , yang tau kualitas anak didik khan kita yang dilapangan. Mnegapa hanya pakai alat ukur LJK saja, ndak masuk akal. Terimakasih ya mon sudah baca dan sudah coment tulisan yanti. jangan bosan ya!

    BalasHapus

Sobat .......Terimakasih ya atas kunjungan dan sapaanya